Berpisah…

Mengapa aku suka bersepeda sendiri? Karena ketika bersepeda sendiri, aku tidak perlu berpisah.

Mengapa aku benci penutupan pelatihan? Karena, semuanya berakhir, dan berpisah.

Mengapa aku jarang hadir di pesta perpisahan? Karena perjumpaan, bukan perpisahan, yang harusnya dirayakan.

Tapi setelah bertahun berusaha, bertahun menunda, akhirnya sampai pada titik untuk menerima perpisahan.

Ya, kami memilih berpisah. Kesepakatan pada akhir 2019, menjadi putusan pengadilan pada Juni 2020. Kami resmi bercerai.

Setelah berpisah, lalu apa?

Kembali belajar….
Menjadi sendiri
Mengakui kelemahan
Memperbaiki perbuatan
Membangun kebiasaan

Belajar lebih mendengarkan
Belajar lebih memahami
Belajar lebih asertif
Belajar lebih menerima
Belajar mencintai lebih baik

Semoga…..

Bukan Menunggu Pandemi Usai, Bersiap Berjuang Hidup Mati!

Revisi tulisan setahun yang lalu: Menunggu Godot, Perjuangan Hidup di pandemi COVID-19. Ternyata tidak bisa menunggu pandemi usai, kita harus bersiap berjuang hidup mati!

Setahun lalu dalam sebuah tulisan, saya menyebut perjuangan menghadapi COVID-19 ibarat menunggu godot. Ternyata saya salah besar. Gelombang pertama COVID-19 mungkin seperti Godot, tapi tidak dengan gelombang kedua. Pada gelombang kedua, virus COVID-19 berterbangan semakin dekat dengan kita. Semakin lama, semakin dekat, hingga sampai pada kita, termasuk saya. Kok bisa? Begini ceritanya….

Hari H

Pagi dapat kirim file dari Ibu, Wasiat dan Dzikir Penjagaan dari Wabah. Sebuah kode keras :)))

Menjelang siang badan terasa tidak enak. Padahal masih ada 4 sesi dari siang sore sampai malam. Siang itu meski berada di dalam kamar ber-ac, tapi seperti berjalan kaki di padang pasir. Panas! Banyak minum, banyak kencing. 

Saya pun berubah pikiran. Saya mundur dari sesi sore agar bisa ikut sesi malam yang sudah saya janjikan lebih dahulu. 

Sesi malam, saya pakai baju hangat. Saya menjawab sejumlah pertanyaan dari guru penggerak. Biasanya usai lebih larut, tapi malam itu saya minta sesi dipercepat.

Selesai sesi, saya pesan obat kumur, parasetamol, deteksi saturasi, dan obat radang. Selesai pesan, saya minum parasetamol dan langsung masuk dalam selimut. Menggigil. Tidur 1-2 jam, bangun, minum air putih, buang air, tidur lagi 1-2 jam dan begitu terus berulang sampai pagi.

Hari H+1 

Pola tidur-minum-kencing sebenarnya terus berulang sepanjang sabtu pagi hingga minggu pagi, dengan penambahan tiga kali makan dan ukur saturasi (karena alatnya barusan datang). Sabtu siang sudah mulai dibantu pakai kompres.

Sama sekali tidak berpikir apa-apa. Lupa semua agenda, termasuk agenda mingguan ngobrol sama Damai.

Sabtu pagi itu memori jangka pendek. Misal bangun, terus kepikiran konsultasi melalui aplikasi, karena buka aplikasinya terlalu lama, lupa dan terus ketiduran. Bangun buka aplikasi lagi, lupa lagi, tidur lagi.  Fokus pada mengatasi demam dan radang tenggorokan, termasuk ngobrol di Grup Telegram Pemulihan Kesehatan.

Hari H+2

Minggu pagi. Masih juga demam. Tenggorokan semakin gatal dan tidak nyaman. Memori bisa lebih lama. Jadi memutuskan buat tes PCR untuk mendapat kepastian. 

Awalnya mau pesan taksi daring langsung berangkat dan pulang. Tapi sampai lokasi, sopirnya kelewatan dan akhirnya cabut. Ganti jalur dari drive through menjadi jalur walk in. Sampai di dalam, ditolak petugas. Harus tetap jalur semula. Setelah negosiasi, akhirnya bisa tes PCR meski tidak harus mengendarai mobil.

Selesai tes PCR, pesan dan nunggu taksi daring di tepi jalan. Saya pegang kepala dan leher, dingin sekali karena parasetamol sedang bekerja. Tidak akan lama pasti naik lagi. Eh pesanan dibatalkan. Harus pesan ulang. Nunggu lagi.

Pola sebelumnya berulang. Sampai minggu malam. Akhirnya bisa konsultasi dokter secara daring. Bisa minta resep obat untuk radang tenggorokan. Obat datang, makan, dan minum obat. Demam mulai terkendali. Setelah 2 malam tidur 1-2 jam terbangun, akhirnya minggu malam bisa tidur lebih nyenyak. Hanya terbangun sekali.

Hari H+3

Hasil tes PCR dijanjikan 24 jam, tapi tengah malam sudah dikirim. Hasilnya? Positif. Sesuai dugaan. Gejalanya lebih meyakinkan dibandingkan ketika mendapat hasil positif pada H-18.

Saya kemudian mengkomunikasikan hasil tes PCR tersebut ke pengelola kos dan kantor. Persiapan isolasi mandiri  meski sebenarnya sejak jumat sudah membatasi diri. Isolasi dimulai justru ketika demam sudah reda. Senin hanya minum 1 parasetamol, bandingkan dengan 6 buah/hari di 2 hari sebelumnya.

Hari H+4 dan selanjutnya

Semakin terasa ada ganggungan pada indera perasa. Makanan yang sudah langganan pun berubah rasanya. Setelah dipikir, rasa yang menonjol adalah asin dan pahit. Asin seperti dikali 3-5 kali lebih kuat. Pahit dikali 1-2 kali lebih kuat. 

Hari ini masih isoman…..

Kilas balik 

Hari H-18 

Hasil tes PCR positif. Tanpa gejala.

Hari H-17 

Tes PCR di tempat berbeda. Hasil tes negatif. Tapi tetap isolasi mandiri. 

Hari H-15

Rapat kerja yang rencana luring, diubah jadi daring. 

Hari H-12

Tes PCR lagi, hasilnya negatif.

Hari H-11

Mengikuti pertemuan luring 

Hari H-3

Mengunjungi bank untuk mengurus kartu ATM yang diblokir. Sampai lokasi, bank masih tutup sehingga mampir sarapan di kantinnya. Kantin masih sepi, hanya ada 3 pengunjung. Ini kemungkinan pertama penularan. Kemungkinan lain yang lebih kecil, interaksi dengan pengirim makanan/paket di kos.


Begitulah ceritanya……….berbeda dengan tahun lalu, COVID-19 terasa jauh. Tahun ini, gelombang kedua telah membuat saya pun dan jauh lebih banyak orang terpapar COVID-19.

Dari pengalaman terkonfirmasi positif COVID-19, apa poin penting yang saya pelajari?

Bertindak aktif! Bukan menunggu pandemi usai, tapi berjuang hidup mati! 

Apa bedanya? Menunggu itu membosankan. Menunggu itu defensif, tergantung pada kondisi eksternal. Bertindak aktif itu mengasyikkan. Bertindak aktif itu kreatif, kita bisa berkreasi sesuai potensi.

Apa persiapan personal untuk berjuang menghadapi COVID-19?

  1. Prioritaskan vaksinasi bagi yang belum. Saya sendiri sudah vaksin di bulan Maret 2021.
  2. Sediakan Pertolongan Pertama pada COVID-19. Lakukan antisipasi minimal. Saya menyiapkan termometer, alat ukur saturasi, parasetamol, tabung oksigen dan pembersih hidung. Anda bisa menyesuaikan dengan kondisi dan kemampuan masing-masing.
  3. Fokus pada gejala. Karena gejala yang terasa radang, maka semua usaha saya fokus mengatasi radang. Obat kumur, tablet hisap anti radang, minum air hangat, dan minta resep dokter.
  4. Jaga emosi tetap tenang. Ini paling menantang sih. Selama isolasi, minim interaksi sehingga pikiran mudah melayang kemana-mana. Ganti playlist gembira, meskipun sedang terluka 🙁
  5. Bangun perilaku berulang. Pola perilaku akan menguatkan kesadaran dan membangun keutuhan. Beribadah, latihan bernafas, makan minum atau aktivitas lain yang dilakukan berulang.
  6. Bentuk sistem pendukung. Kecil (4 – 8 orang), saling percaya, dan saling berbagi dan verifikasi informasi.  

Apa yang bisa kita lakukan sebagai komunitas untuk berjuang menghadapi pandemi COVID-19?

Keenam upaya personal mungkin mudah buat saya dan sebagian dari kita, tapi sulit bagi yang lain karena keterbatasan sumber daya. Jadi, penting bergerak bersama, bahu membahu saling menolong. Kita tidak bisa menang sendirian! Bersama lawan COVID-19 melalui setidaknya 3 aksi berikut ini:

  1. Aktif bangun kebiasaan baru. Menolak jadi korban, mencari kesempatan untuk membangun kebiasaan baru yang melibatkan. Kebiasaan baru yang sederhana, menyenangkan, dan diposting di media sosial.
  2. Peka, kenali dan bantu. Lihat sekitar, kenali dan bantu mereka yang membutuhkan dukungan. Bila tidak mampu membantu, hubungan dengan pihak yang bisa membantu.
  3. Terlibat dalam aksi sosial. Terlibat aksi sosial yang dampaknya lebih luas lagi. Jadi bagian dari komunitas kebiasaan baru! 

Menolak untuk menunggu. Aktif berjuang menghadapi pandemi COVID-19. Aku, kamu, dia, kita semua!

Beberapa aksi sosial yang bisa Anda dukung

Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar: Di Balik Layar

Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar versi pertama akhirnya diluncurkan setelah berdialektika selama lima tahun.

Continue reading Kurikulum Pembelajaran Merdeka Belajar: Di Balik Layar

Begitulah Hidup, Selalu Punya Kejutan

Beberapa waktu lalu ketika melewati usia 40 tahun, saya membayangkan hidup sudah berada pada “jalur”nya. Anak semata wayang. Jalan hidup sudah berketetapan di bidang pendidikan. Tinggal melakukan perbaikan dan pengembangan di sana sini. “Tinggal” menjalani jalan hidup.

Continue reading Begitulah Hidup, Selalu Punya Kejutan

Menunggu Godot, Perjuangan Hidup di pandemi COVID-19

Tentang bagaimana rasanya berada pada penantian tak berujung.

Saya mendengar pertama kali Menunggu Godot dari majalah Tempo yang dibawa pulang ke rumah oleh Bapak di awal 1980-an. Pada masa remaja dan mahasiswa, idiom itu masih sempat terdengar (sepertinya baca di Majalah Hai) tapi setelah itu menghilang. Sampai suatu ketika sekitar 3 tahun yang lalu berkunjung ke sebuah toko buku di jalan kecil yang tumbuh pinus di tepiannya di Bandung, saya menemukan buku dengan judul Menunggu Godot.

Menunggu Godot adalah naskah drama Samuel Beckett yang dipentaskan di Paris tahun 1953 dan Bengkel Teater mementaskannya di Jakarta pada tahun 1969. Lawas banget ya :)

Minggu lalu saya diminta moderator RANSEL KGB Pekalongan untuk menentukan film yang menggambarkan suasana pandemi COVID-19. Pada kesempatan itu, saya menjawab dengan film Cast Away, Tom Hanks yang terdampar di sebuah pulau terasing selama 4 tahun.

Tapi semalam membuka kembali bukunya, saya merasa Menunggu Godot lebih tepat menggambarkan suasana psikologis kondisi pandemi ini.

Continue reading Menunggu Godot, Perjuangan Hidup di pandemi COVID-19

Buat Apa Bersekolah bila Hanya untuk Bersekolah?

Bagi sebagian besar orang, buat apa bersekolah adalah pertanyaan yang konyol untuk diajukan. Tapi benarkah kita sebagai orangtua sadar jawaban pertanyaan tersebut ketika memilih sekolah untuk anaknya?
Continue reading Buat Apa Bersekolah bila Hanya untuk Bersekolah?

Mengapa Saya Tidak Menjual Buku Memilih Sekolah di Toko Buku?

Berbeda dengan dua buku sebelumnya, buku ketiga saya Panduan Memilih Sekolah untuk Anak Zaman Now tidak dijual di toko buku. Mengapa?  Continue reading Mengapa Saya Tidak Menjual Buku Memilih Sekolah di Toko Buku?

Berkuasa

Kekuasaan tidak selalu sebesar yang dibayangkan. Ia bukan perkara jabatan atau kekuatan yang luar biasa. Kuasa beroperasi pada urusan sehari-hari. Berkuasa adalah dorongan untuk menentukan obyek-obyek di sekitarnya. Orang-orang biasa pun bermain kekuasaan, mencari panggung agar berkuasa, yang seringkali menutupi ketidakberdayaan yang dirasakannya.


Berkuasa hadir di ruang kelas ketika guru mengarahkan ketidakmampuannya menentukan nasib sendiri dengan menjadi penentu tunggal nasib murid-muridnya. Berkuasa hadir di rumah ketika orangtua menyalurkan kegagalan obsesinya pada anak-anaknya.

Berkuasa hadir dalam relasi dua orang ketika salah satu atau kedua belah pihak gagal menyepakati jalah tengah. Berkuasa hadir di media sosial ketika menulis status yang menafikkan pandangan yang berbeda. Berkuasa hadir di jalan raya ketika solusi transportasi berubah menjadi sirkuit balapan.

Apakah dorongan berkuasa kita gunakan untuk menguasai diri agar lebih berdaya atau menguasai orang lain agar ketidakberdayaan kita tertutupi?

Temu Pendidik Daring, Belajar Melintasi Batas

Temu Pendidik menemukan cara baru untuk menjadi penghubung guru belajar di seluruh nusantara. Kami menyebutnya Temu Pendidik Daring!  Continue reading Temu Pendidik Daring, Belajar Melintasi Batas

%d bloggers like this: