Oleh Budi Setiawan. Master Appreciative Inquiry, Kata pengantar buku The Power of Appreciative Inquiry
Bagaimana cara kita memahami organisasi kita? Ada sebuah alat bantu yang sangat simpel, buatlah gambar organisasi kita! Lho kok gambar? Iya, sesuatu yang kita gambarkan itu mewakili imaji tentang organisasi kita. Pada dasarnya, manusia bertindak tidak berdasarkan data, angka, jumlah-jumlah kuantitatif dalam bertindak. Kita tidak melakukan tindakan antisipatif semata karena tingkat penjualan menurun. Tindakan kita lebih didasarkan pada imaji tertentu tentang masa depan yang muncul setelah kita melihat data penjualan. Ketika imaji yang muncul adalah sosok diri kita sebagai manajer pemasaran atau manajer penjualan maka kita akan bereaksi gembira dan menggunakan data itu untuk mengkritik manajer saat ini. Ketika imaji yang muncul adalah bonus yang berkurang maka kita akan khawatir dan melakukan tindakan untuk meningkatkan penjualan. Imaji masa depan menjadi basis dalam menginterpretasikan realitas yang kita hadapi saat ini. Imaji tentang organisasi yang memandu tindakan-tindakan kita yang membentuk organisasi kita.
Power of Image! Kekuatan imaji inilah yang menjadi basis rekan-rekan kita yang bergerak di bidang advertising. Imaji menjadi sesuatu yang diperjuangkan dengan berbagai daya upaya. Mereka sadar benar bahwa imaji suatu merek akan menentukan tindakan yang akan dilakukan pelanggan. Dalam studi psikologi, imaji murid yang ada dibenak guru menjadi faktor penentu keberhasilan proses pembelajaran. Dalam keseharian, apabila kita mempunyai imaji positif terhadap orang yang ada dihadapan maka akan bertindak positif pula.
Bagaimana imaji ini terbentuk? Interaksi dan komunikasi. Karena itulah, suatu merek yang berjaya adalah merek yang sering berinteraksi dengan pelanggannya, merek yang dikomunikasikan dengan cara-cara yang menarik. Tak segan-segan dilakukan riset terhadap pelanggan, walau menghabiskan biaya besar, untuk sungguh-sungguh memahami pelanggan. Demikian pula di kelas, proses pembelajaran yang efektif mempersyaratkan pola interaksi dan komunikasi tertentu. Semisal, umpan balik yang positif terhadap murid.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita mengoptimalkan kekuatan imaji dalam mengelola organisasi kita? Bagaimana kita memainkan interaksi dan komunikasi dalam menciptakan masa depan organisasi kita?
Pada dua titik itulah, SOAR, metode perencanaan strategis berbasis appresitive inquiry menjadi sebuah tawaran menarik yang berbeda dengan pendekatan dan metode yang telah ada. Stavros, Cooperrider dan Kelly, penggagas SOAR, berupaya mengoptimalkan kekuatan imaji untuk menggerakkan seluruh sumber daya perusahaan untuk mewujudkan masa depan yang diidamkan. Metode SOAR merupakan langkah penciptaan imaji organisasi yang positif dalam perencanaan strategis. Imaji ini dibentuk melalui imajinasi terpandu dengan menggunakan kekuatan otak kanan. Lahirlah, imaji yang dashyat, imaji yang menggetarkan hati seluruh orang. Imaji yang melahirkan tindakan-tindakan terbaik. Imaji yang mewujudkan organisasi idaman kita.
Dalam keseharian organisasi kita, imaji ini seharusnya terwujud dalam visi organisasi kita. Pertanyaannya, bagaimana imaji organisasi kita dimata karyawan, supplier, pelanggan, manajemen, direksi dan bahkan owner sendiri? Kalau imaji itu digambar, maka apa gambar yang digunakan para pihak itu untuk menggambarkan organisasi kita? Seberapa indah gambar tersebut? Seberapa kuat imaji itu mengundang tindakan-tindakan terbaik?
Imaji organisasi terkonstruksi melalui interaksi dan komunikasi diantara para stakeholdernya, dalam cara yang paling sederhana, percakapan. Dalam percakapan keseharian, orang saling bertukar kisah satu sama lain. Apa kekuatan sebuah kisah? Kisah menyimpan jutaan makna sehingga manusia dapat mewariskan tradisi dari generasi ke generasi, dan mempersatukan orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Dalam kisah, tersimpan akan ingatan sejarah yang memungkinkan orang merefleksikan perjalanan sebuah organisasi. Kisah pula yang memicu semangat orang, membangkitkan orang untuk memberikan atau tidak memberikan konstribusi terhadap suatu urusan.
Ingat heboh kisah Chicken Soup? Kisah orang-orang biasa yang menularkan emosi kepada para pembacanya. Apa yang kita ingat tentang sekolah kita dulu? Sekumpulan kisah yang ketika diceritakan kembali menghangatkan suasana perjumpaan dengan sesama alumni. Bahkan, kekuatan kisah begitu berpengaruh sehingga kisah yang beredar pada pertemuan informal seringkali merupakan pertanda keputusan yang akan diambil dalam sebuat rapat formal. Mengingat kisah sedih membawa kita pada suasana yang muram. Mengenang kisah ceria menerbangkan kita pada puncak-puncak keceriaan. Karena itulah, pembentukan imaji organisasi berlangsung sepanjang waktu oleh semua orang yang terlibat. Tidak hanya pada saat rapat. Tidak pula oleh sebagian orang. Lalu, bagaimana kisah-kisah yang ada dalam percakapan organisasi kita?
Kisah lahir dari sesuatu yang menjadi fokus kita. Ketika anggota organisasi menganggap ketidakdisplinan sebagai sesuatu yang berharga, maka akan lahirlah berbagai kisah seputar ketidakdisplinan. Entah kisah tentang kekonyolan upaya seseorang untuk menghindari suatu aturan. Entah kisah tentang manajer yang galak dan tidak punya hati terhadap bawahannya yang tidak disiplin. Kisah selalu terpusat pada sebuah fokus yang terpicu dari pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan.
Pertanyaan yang kita ajukan menentukan kisah yang akan lahir. Kisah yang dipertukarkan menentukan imaji organisasi kita. Imaji organisasi kita menentukan tindakan seluruh pihak yang terlibat. So simpelnya, pertanyaan positif, kisah positif, imaji positif, tindakan positif, kinerja positif, masa depan positif. Begitulah SOAR adanya.