Kemarin siang setelah mengisi sesi Inovasi pada sebuah training motivasi, @donWildano mengajukan pertanyaan yang membuat kami terlibat obrolan mengenai efektivitas training.
Masih ingat sebuah training emosi spiritual yang menjamur beberapa tahun yang lalu? Iya training dengan efek audio visual yang membahana itu. Banyak sekali perusahaan & lembaga pemerintah mengadakan training tersebut, beberapa diantaranya “turun dari langit” dan tidak terkait analisis kebutuhan training. Efek langsungnya? Dengar-dengar banyak peserta yang menangis dan menyatakan tobat. Efek jangka panjang? Banyak teman bilang tidak ada. Seorang teman menyebut efeknya hanya berlangsung 2 bulan.
Training emosi spiritual ini menjadi penanda lahirnya gelombang training motivasi dengan beragam variasinya. Ragam training ini menekankan pada pengembangan kemampuan personal & interpersonal (soft skill), yang berbeda dengan masa sebelumnya yang lebih menekankan pengembangan kemampuan teknis. Seberapa efektif training ini menghasilkan perubahan pada lingkup organisasi? Aku tidak punya data untuk menjawabnya. Tapi dugaanku, kebanyakan training motivasi ini tidak efektif dan seringkali kontraproduktif.
Training motivasi itu seperti pergi berakhir pekan ke pegunungan, sebut saja puncak. Ketika akhir pekan, semua orang bahagia. Orang bisa lepas dari rutinitas. Orang bisa tertawa bebas. Orang bisa mengekspresikan dirinya secara terbukan. Tapi akhir pekan tidak lama. Datanglah minggu malam dan orang-orang pun menggalau mengenai hari senin, “Ah kok sudah senin lagi”. Orang masuk lagi ke kantor. Kembali ke rutinitas sehari-hari. Kembali pada pola emosi & relasi pekerjaan.
Dimana kebahagiaan berakhir pekan? Entahlah menguap kemana
Begitu juga dengan training motivasi. Orang bahagia ketika ikut training motivasi, tapi kebahagiaan itu ditinggal di ruang training dan kembali pada rutinitas pekerjaan dengan suasana hati suntuk. Mungkin ada pengetahuan yang didapatkan dari training, tapi tidak jelas relevansi dan maknanya pengetahuan itu terhadap pekerjaan. Sampai kantor pun, seringkali tidak disediakan kesempatan untuk memperagakan pengetahuan yang didapat dari training.
Istilah konseptualnya, training adalah konteks pendapatan, orang mendapatkan suatu pengetahuan. Kantor adalah konteks penggunaan, orang menggunakan suatu pengetahuan. Seringkali pengetahuan dianggap seperti oleh-oleh yang bisa dibeli di tempat berakhir pekan dan dibawa ke kantor pada hari senin. Sayangnya, pengetahuan bukanlah benda dan penggunaannya pun tidak bisa bersifat individual.
Belajar dan pengetahuan selalu bersifat sosial. Orang jaman dulu sudah menyadari konsep ini. Karena itu, tidak ada kelas training bertani. Belajar bertani ya terlibat dalam konteks penggunaan pengetahuan itu, atau dengan kata lain, terjun ke sawah. Amati praktek bertani. Menyimak pak tani bercerita mengenai sawahnya. Mengajukan ide di pertemuan kelompok tani. Mengeksperimentasikan ide itu di sawah. Ada hasil dan semua orang akan mengikuti. Intinya, konteks pendapatan dengan konteks penggunaan berhimpitan, tidak ada batas penyekatnya. Kalau jaman sekarang, contoh nyata adalah Mengapa Tidak Ada Training Korupsi.

Oleh karena itu, tantangan bagi training adalah mengintegrasikan diri dengan pengalaman kerja. Bagaimana menciptakan ruang percakapan mengenai praktek baik di tempat kerja?
Berdasarkan apa yang saya pelajari dari Appreciative Inquiry, saya memberi kesempatan pada setiap orang untuk bercerita pengalaman kerja terbaiknya. Kemudian, saya memfasilitasi peserta untuk mengambil kesimpulan mengenai poin pembelajaran (lesson learned), menantang peserta menciptakan inovasi dan membangun kesepakatan peserta untuk melakukan tindakan baru. Ruang percakapan ini pun tidak bisa hanya sekali. Saya merekomendasikan format pertemuan appresiatif pada organisasi, agar percakapan ini bisa menjadi bagian dari kebiasaan organisasi. (Contoh: Pertemuan 3.0: Melejitkan Kreativitas Kolektif, Pertemuan Review Kinerja)
Dalam pertemuan apresiatif, orang bahagia bukan karena semata-mata dikondisikan oleh trainer, tapi karena mereka merasakan kebanggaan dan kepuasan dalam bekerja. Peserta termotivasi bukan oleh sebuah simulasi, tapi tantangan nyata untuk menciptakan inovasi. Ada kebahagiaan yang berasal dari dalam diri terbaik, bukan karena keadaan lingkungan eksternal.
Bagaimana bila ingin mempelajari pengetahuan baru yang belum pernah dipraktekkan di organisasi? Kita bisa mengundang narasumber eksternal, tapi pengetahuan itu tidak langsung diterapkan. Peserta harus berbagi harapannya dan memodifikasi pengetahuan eksternal itu agar sesuai dengan harapan bersama.
Bagaimana dengan training di tempat kerja anda? Apakah training masih seperti berakhir pekan yang terpisah dari pengalaman kerja terbaik?
Hihi..pada akhirnya yg menolong diri sendiri adalah DIRI sendiri..*smgat2
Awalnya iya, tapi selanjutnya konstruksi sosial yang akan menyediakan kesempatan
Coba baca lagi, peserta yang belajar di training tidak bisa menerapkan hasil belajar itu kalau di kantor tidak mendapatkan kesempatan dan dukungan atasan
Training seolah pengajian. Benar kata anda, bertobat ketika training (baca : di masjid), keluar masjid ya kembali seperti semula.
Hahaha metafornya ekstrim……cocok!
Kira kira kenapa kita seperti itu ya ? Apakah masa kanak kanak (baca : pendidikan) kita ? atau budaya ? atau mungkin ada yang lain ?
saya suka sekali training.. terutama bagian makan makannya.. hehehe.. pengalaman saya mengikuti training motivasi, memang hasilnya cuma tahan beberapa bulan saja.. habis itu menguap. Training memang sebaiknya harus dibawa dalam bentuk bentuk kongkret dan applicable.. kalau tidak sia sia deh trainingnya..
Setuju, bisa diaplikasikan adalah salah satu aspek penting dalam training
Lebih seruan liburan klo gt mas..ceritanya bisa dikenang seumur hidup. daripada traning :p
Hahaha ya iya lah….liburan yuk *loh
Reblogged this on iaridlo and commented:
Menyegarkan jiwa dahaga
Suwun
Reblogged this on Ry24's Weblog and commented:
Bagus untuk dibaca dan diterapkan pada perusahaan… seperti apa training di tempat kita.
Terima kasih….
Perlu ada practice oriented toh.
Ya…..ada kesempatan buat mempraktekkan, terus ada forum mempresentasikan hasil prakteknya itu
yang paling banyak diingat dari sebuah training adalah games-nya. Nilai pembelajarannya? Menguap ke mana? Sekarang saya sudah jarang menggunakan training. Lebih banyak saya gunakan metode interview. Saya bertanya kepada para expert, saya ringkas dan saya sampaikan sekali lagi apakah pemahaman saya sudah sama dengan yang saya dengar. Kemudian saya coba ini di kantor.
Terkadang training itu tidak berdasarkan kebutuhan kita yang ada di kantor atau pekerjaan. tapi berdasarkan materi yang dikuasai oleh trainernya.
Poin pertama. Menarik! Saya sebagai fasilitator memfasilitasi interview tersebut secara massal dan menyenangkan
Poin kedua. Hehe betul juga. Berangkat dari titik yang berbeda dan sampailah ditujuan yang berbeda juga
Setuju Om. Training sering datang tanpa need analysis, dan lupa soal transfer of training.
Iya cuma jadi proyek yang harus dikerjakan……
klo di pemda training sbg kebutuhan instansi teknis utk meraih anggaran bukan krn training itu dibutuhkan SDMnya. Walhasil selesai training ini itu, peserta kembali bekerja tanpa membekas manfaat training yang sdh diikuti.Nah ini PeEr buat Mr.Bukik, sesekali dong ulas ttg SDM Birokrat kita..ditunggu ya!!
Hampir sama kok, apa yang kutulis di posting ini kan kejadian juga di birokrat…….
Baiklah, semoga dapat insight mengenai SDM birokrasi ya
penggemar training. eh itu baju buat joging bukan?
Oh harus itu…..ikut training kan sama seperti libur kerja *eh