Mengapa kita mengabaikan murid menderita belajar?

Siapa dari kita yang pernah mengalami pengalaman menderita belajar selama bersekolah? Saya tidak tahu Anda, tapi saya salah satunya yang mengalami. Bukan hanya pernah, sering dan berulang kali. Pada masa TK dan SD, hanya sedikit pengalaman menderita belajar yang saya ingat. Tapi semakin besar, semakin banyak pengalaman menderita belajar yang membekas. Apakah Anda mengalami pengalaman menderita belajar?

Gejala menderita belajar mulai dari bosan mengikuti pelajaran karena cara pembelajaran yang tidak seru. Cemas yang dirasakan karena khawatir PR-nya keliru, ditunjuk maju ke depan, dihukum berdiri di atas kursi hingga kecemasan menjelang ulangan/ujian/penilaian. Cemas dalam bentuk jantung berdebar, keringat dingin bahkan sampai mimpi buruk. Beranjak pendidikan menengah, tubuh saya berkali-kali bersentuhan dengan penggaris hingga rotan.

Dulu saya menganggap rasa bosan, cemas dan ketakutan itu hal biasa. Konsekuensi logis dari sebuah proses yang dianggap mulia: belajar. Anggapannya, ya namanya belajar itu pasti membosankan, mencemaskan dan menakutkan. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Wajar. Alamiah. Diterima begitu saja. Tidak perlu mengeluh. Apalagi protes. Apakah Anda pernah merasakan hal yang sama?

Sampai kemudian membaca buku Pendidikan Kaum Tertindas-nya Paulo Freire, menyaksikan video musik Another Brick in the Wall, membaca Toto Chan, menyaksikan perlawanan Matilda, perjuangan seorang guru di film Dangerous Minds. Lahirlah kesadaran bahwa pendidikan itu bukanlah yang membosankan, mencemaskan dan bukan pula yang menakutkan.

Tidak selayaknya, tidak seharusnya, tidak pantas, anak-anak kita mengalami pengalaman menderita belajar. Semua dan setiap anak berhak pengalaman merdeka belajar. Anak-anak terlibat menentukan tujuan, cara dan penilaian belajarnya. Belajar jadi seru! Belajar jadi bermakna! Belajar jadi berarti bukan hanya buat anak tapi juga buat komunitasnya.

Saya undang kawan-kawan untuk BERHENTI mengabaikan penderitaan belajar yang dialami oleh anak-anak. Tidak perlu muluk untuk peduli atau memberi bantuan. Mulailah dengan menyadari pengalaman menderita belajar yang pernah kita alami. Mulailah peka terhadap anak-anak yang menderita belajar. Perubahan selalu dan selalu berasal dari keresahan dari dalam hati kita!

Published by

Bukik Setiawan

Blogger

Gimana komentarmu?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: