Keajaiban apresiasi dalam mengubah orang

Bagaimana orang tua dan komunitas mengatasi anak yang melakukan kenakalan. Logika hukuman mungkin yang paling sering kita dengar. Hukuman mengubah perilaku. Tapi ada kisah berbeda yang menarik, sebuah kisah kekuatan apresiasi. Simak….

Dewi adalah seorang perempuan yang bekerja disebuah perusahaan ternama di Jakarta. Karirnya cemerlang. Ia menduduki posisi yang menawarkan pekerjaan yang menantang kemampuan terbaiknya. Dia telah dikaruniai seorang putra yang sekarang menginjak usia 11 tahun. Agus namanya.

Dewi berusaha mencukupi kebutuhan materi dan emosional sang anak. Dewi mengangkat seorang pengasuh profesional, Ratih namanya, yang bertugas mendampingi sang anak. Ratih telah berusaha keras mengambil hati dan kepercayaan Agus tetapi sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda berhasil.

Beberapa waktu belakangan, Dewi merasa cemas karena perilaku anaknya. Pihak sekolah telah memberikan peringatan karena Agus telah menimbulkan gangguan terhadap kelancaran proses belajar mengajar. Dewi telah mengajak bicara sang anak mengenai peringatan tersebut. Sudah sejuta nasehat disampaikan. Berulang kali larangan diberikan. Tapi seperti kata pepatah. Masuk telinga kanan, keluar dari telinga kiri.

Sampai suatu hari, Dewi bertekad menangani persoalan ini dengan lebih serius dan sistematis. Ia memerintahkan Ratih untuk mengawasi sang anak di sekolah. Ratih bertugas mencatat perilaku-perilaku Agus yang menjadi sumber persoalan.

Setelah pulang kerja, Dewi akan memanggil Agus untuk mendiskusikan daftar perilaku bermasalah tersebut. Dewi akan menjelaskan mengapa perilaku itu salah atau tidak dapat diterima. Dewi berusaha menegaskan larangan yang jelas dan detail dengan harapan akan terbentuk perilaku yang konsisten dan dapat diterima semua orang.

Sementara itu…….

Ratusan kilometer dari Jakarta, komunitas primitif di pelosok mengalami persoalan yang serupa. Ada seorang anak di komunitas itu, bernama Bagus, yang telah beberapa kali merusakkan benda dan rumah milik komunitas. Ketika diberitahu justru marah dan menunjukkan perilaku menantang orang yang lebih tua. Sampai suatu hari…..

Seluruh anggota komunitas itu berkumpul dan membentuk sebuah lingkaran besar. Sang Ayah mendampingi Bagus menuju tengah lingkaran dan berjalan kembali bersama lingkaran anggota komunitas yang lain. Sang Ayah mengawali percakapan,

“Kau adalah anak pertama, dan yang paling berharga bagi kami. Aku dan ibumu begitu gembira ketika pertama kali merasakan tendangan di perut ibumu. Menjelang kelahiranmu, kami merasakan ketegangan yang sangat amat. Aku belum pernah merasakan ketegangan sedemikian dalam sepanjang hidupku.

Ketika engkau lahir, aku berlari dari rumah ke rumah untuk memberitahukan kepada semua orang bahwa engkau telah lahir dengan sehat. Engkau memang begitu adanya. Sehat dengan tangisan yang begitu keras, seakan-akan ingin menggoncang dunia. Begitu bangganya kami. Begitu bahagia. Dan kau memang selalu membuat kami bahagia. Langkah kaki ketika pertama berjalan. Kata pertama yang engkau ucapkan. Engkau membuat kami tertawa bahagia dengan wajah lugumu”

Singkatnya, sang ayah membagikan seluruh cerita bahagia dalam kehidupan sang anak. Sama sekali tidak menggunakan kata-kata kritis. Seakan-akan sang ayah mengatakan bahwa tugas utamanya adalah mengingatkan apa artinya sang anak bagi keluarga, komunitas dan orang-orang lain. Mengingatkan seluruh kegembiraan dan kebahagiaan yang telah dibawa sang anak.

Setelah sang ayah selesai, disusul kemudian sang paman bercerita dan dilanjutkan oleh seluruh anggota komunitas. Seakan-akan seluruh orang mengatakan begitu berartinya sang anak dalam hati mereka. Tengah malam menjelang, sang ayah memberikan tanda dan seluruh orang memandang ke tengah lingkaran. Dalam hening setiap orang menyalami si anak dan satu per satu meninggalkan lingkaran.

Dalam sunyi….

Bagaimana akhir dari dua kisah itu?

Saya pribadi sangat menyukai jalan komunitas primitif. Saya merasa komunitas itu begitu paham bagaimana anak itu tumbuh berkembang. Saya yakin bahwa pola serupa juga berlaku pada setiap orang.

Ini adalah kisah yang menginspirasi saya untuk mendalami Appreciative Inquiry dan pendekatan lain yang berbasis kekuatan (strength based approach) seperti positive deviance, ABCD A(Asset based community development). Saya membaca kisah ini dari sebuah ebook Appreciative Inqury ketika mengerjakan tesis saya. Hati ini sungguh mendapat pencerahan. Kebetulan waktu itu, isteri saya tengah mengandung Damai, putri semata wayang. Saya merinding dan berkaca-kaca membayangkan sebagai ayah yang berlari dan berteriak ke penjuru kampung untuk mengabarkan kelahiran putri kami.

Saya merasa dibukakan mata hati sehingga bisa menyaksikan bagaimana proses-proses kemanusiaan dan kemasyarakatan terjadi. Ada begitu banyak praktek, entah di pendidikan dan kerja, yang lebih menekankan pada kesalahan dan kelemahan kita. Sementara, kita sendiri sebagai manusia terasa begitu dahaga akan apresiasi, semangat, dan inspirasi dari orang-orang di sekitar kita. Saya belajar dan praktekkan Appreciative Inquiry dalam lingkup saya, mungkin masih terlalu kecil, tapi saya akan terus berusaha memperluas lingkup ini.

Paling tidak, inspirasi yang saya dapatkan pada waktu itu saya praktekkan dalam mengasuh dan mendidik Damai. Alhamdulillah, saya pegang teguh keyakinan bahwa Damai itu anak baik, apapun ulahnya. Ketika rewel dan nangis berkepanjangan, saya tetap yakin bahwa Damai itu anak baik. Saya ungkapkan keyakinan itu dalam berbagai cara, lisan, menyanyi, menari, apapun! Ketika berhasil melakukan hal, sekecil apapun, menyampaikan pujian. Ketika gagal melakukan suatu hal, beri keyakinan bahwa ia bisa apabila mau belajar. (Baca juga Damai Baca Puisi dan Damai Menyanyi di Pentas)

Semoga Tuhan memberi kekuatan agar saya bisa terus seperti itu!

KWAR5FXZRCWE

Published by

Bukik Setiawan

Blogger

5 thoughts on “Keajaiban apresiasi dalam mengubah orang”

  1. appreciative inquiry…another concept of grace
    setiap individu mungkin mampu mensyukuri atas apa saja yang telah diberikan oleh Allah — Tuhannya, kepada dirinya…..namun itu pun sepertinya belum cukup….akan lebih bermakna apa yang telah disyukurinya apabila ia sendiri dapat memandang dan menginduksi lingkup sosialnya bahwa menerima semua yang ada pada diri mereka masing – masing serta belajar untuk mengelola dan memanfaatkan keadaan dirinya dengan maksimal, mewarnai sinergi yang tercipta setelahnya dengan cinta dan keikhlasan…wow

    seorang guru sekolah luar biasa misalnya, apakah mungkin bisa berhasil mendidik anak – anak didiknya hanya dengan menerapkan temuan Loovas saja, saya kira tidak,
    belajar, mengajar, mendidik adalah suatu usaha individu yang melibatkan fungsi kognisi, fungsi afeksi, dan psikomotorik

  2. sebuah problem yang hampir sama dengan cara penyelesaian yang berbeda… ternyata, kemajuan jaman dan teknologi tidak selalu memberikan solusi akan masalah yang ada, !!.. karna pada hakikatnya masalah yang kita hadapi pernah terjadi dimasa primitif hanya saja ??kita terlalu gengsi untuk kembali kisah terdahulu.

Gimana komentarmu?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: