Beginilah rasanya menulis naskah buku sampai selesai tapi belum menemukan judul buku yang pas. Ya inilah kisah penulisan buku kedua saya
Saya pernah melakukan kedua pilihan itu. Pada buku pertama, judul buku Anak Bukan Kertas Kosong sudah jelas terbayang di benak. Dengan bayangan judul itu, saya menulis sistematika buku, menulis proposal ke penerbit hingga menuliskan detil isi naskahnya. Proses sebaliknya saya lakukan justru pada calon buku kedua saya.
Sejak awal tahun 2015, saya sudah mengajak Dwi Kris, asisten riset di buku Anak Bukan Kertas Kosong untuk menjadi penulis kedua buku lanjutannya. Kami sudah riset literatur dan mendiskusikan konsep-konsep kunci dari buku lanjutan tersebut. Saya sudah survey ke orangtua pembaca mengenai apa yang mereka butuhkan. Berdasarkan hasil survey tersebut, kami menyusun sistematika buku. Bahkan pada akhir 2015, Dwi Kris sudah mencicil naskahnya. Saya senang membaca tulisan-tulisannya. Tapi malang tak bisa ditolak, datang kabar kalau Dwi Kris mempunyai tumor di dada yang sudah mengganggu kerja paru-parunya. Minggu ini, Dwi Kris sudah masuk rumah sakit untuk persiapan operasi. Mohon doa buat kelancaran operasi dan kesehatan Dwi Kris.
Selain membuat rencana penulisan buku lanjutan ditunda, kondisi Dwi Kris membuat portal bakat anak, TemanTakita.com, tersendat menerbitkan tulisan tips belajar dan pengembangan bakat anak.
Pada kesempatan lain, ada pihak lain yang menawarkan kerja sama untuk mengadakan kelas pengembangan bakat anak di Jakarta. Saya menyanggupi tawaran tersebut. Saya mengajak Andrie Firdaus, teman sejak di kampus yang banyak berkecimpung dalam pengembangan sumber daya manusia di berbagai perusahaan dengan industri yang beragam. Sejak di kampus Unair dulu, saya sudah sering tandem bersama Daus dalam memandu pelatihan. Salah satu pelatihan yang masih saya ingat adalah pelatihan perencanaan strategi di Kantor Sekretariat Wakil Presiden RI. Ingat bukan karena apa, tapi waktu itu saya terpaksa balik ke hotel untuk ganti celana jeans dengan celana kain


Saya bersama Daus mulai mendiskusikan modul kelas pengembangan bakat anak. Tidak mudah bertemu karena kami sama-sama sibuk bekerja. Saya jadi manajer pengembangan di Kampus Guru Cikal, sementara Daus jadi manajer HRD di sebuah perusahaan tambang. Diskusi awal kami membicarakan konsep dasar di buku Anak Bukan Kertas Kosong. Bagi kami, pemahaman konsep dasar penting sebelum menerjemahkan menjadi proses belajar di kelas. Bermula dari diskusi modul inilah kemudian tercetus ide untuk sekalian menuliskannya menjadi buku.
Sistematika modul pun berubah menjadi sistematika buku. Tambah sana, kurangi sini. Ketika liburan akhir tahun, ketika yang lain berlibur, saya justru menulis naskah buku kedua. Prosesnya relatif menyenangkan. Pertama, karena secara konsep mengacu pada buku Anak Bukan Kertas Kosong. Jadi tidak lagi melakukan riset literatur, langsung menuliskannya. Kedua, karena suasana menuliskannya asyik, kampung di Blitar dengan hawanya yang lebih berdamai di bandingkan Sidoarjo atau Jakarta.
Liburan akhir tahun yang luar biasa. Saya bisa menemani Ayunda Damai berlibur ke berbagai tempat (Baca: Kampung Wisata Kendang Sentul Blitar, Berjalan-Jalan ke Pantai Karanggongso Trenggalek, Ke Rambut Monte Lagi, hingga Mengakhiri Liburan dengan Berenang dan Menyambut Tahun Baru). Sekaligus saya bisa menyelesaikan naskah buku kedua yang menjadi jatah saya. Seratus halaman terselesaikan selama libur akhir tahun.
Saya menyelesaikan tugas saya, berikutnya tugas Daus sebagai penulis kedua. Sesuai kelebihan dan pengalamannya, Daus menulis sebagian besar bagian latihan yang bisa dilakukan pembaca. Setelah beberapa kali diskusi melalui email, kami pun melakukan finalisasi di kos saya, di Jeruk Purut. Kos di tengah kampung yang penuh dengan teriakan dan tawa anak-anak bermain penuh kegembiraan. Proses finalisasi yang mengingatkan saya pada pengalaman kami dulu ketika bekerja bareng hingga lembur sampai pagi.
Naskah kedua buku pun jadi. Tapi judul buku kedua masih belum pasti.
Berbeda dengan buku Anak Bukan Kertas Kosong, naskah buku kedua jadi tapi judul buku belum jadi. Saya sudah survey di Facebook Anak Bukan Kertas Kosong, Grup Facebook Pengembangan Bakat Anak maupun di akun personal Facebook, tapi hasilnya masih belum sreg. Usulan judulnya belum sekuat Anak Bukan Kertas Kosong. Jadi kami pun masih bingung
Sampai suatu malam, saya mengajak Daus untuk mendiskusikan lagi judul buku. Mungkin pengalaman finalisasi memang berkesan buat Daus. Ia kemudian melontarkan bahwa konsep bakat yang saya rumuskan berbeda dengan pemahaman umum. Konsep yang mendobrak. Saya pun bertanya, apa yang didobrak oleh buku kedua ini? Daus pun menjawab “Yang didobrak menurutku tentang konsep bakat. Bakat tidak dilahirkan. Bakat bukan takdir”.
Dan dengan demikian, judul buku kedua dilahirkan oleh penulis kedua Bakat Bukan Takdir.

Bila diawali dengan judul, penulisan naskah buku berarti menjelaskan atau membuktikan judul bukunya. Bila diawali dengan naskah, penentuan judul berarti penyimpulan dari keseluruhan isi naskah buku. Resikonya, ada bagian naskah buku yang harus diubah untuk membulatkan isinya dengan judul. Meski naskah sudah berisi konsep bakat yang mendobrak, tapi belum menjawab pertanyaan “Apa maksudnya Bakat bukan Takdir?”
Minggu ini kami mengulas kembali isi naskah dari sudut pandang judul Bakat bukan Takdir. Dengan terpaksa, kami menunda penyerahan naskah buku ke penerbit yang seharusnya pada tanggal 10 Januari.
Ada seorang senior yang pernah mengatakan, kita bangga dengan skripsi atau tesis kita sesaat setelah lulus ujian. Tapi setelah beberapa waktu kita baca lagi skripsi atau tesis itu, kita mungkin sudah biasa, mungkin malu, atau bertanya mengapa dulu saya menulis seperti ini. Tidak mengapa karena itu tandanya kita belajar, tumbuh dan berkembang, sementara dokumen skripsi dan tesis tetaplah seperti dahulu. Begitu juga yang saya rasakan dengan buku pertama dan buku kedua. Saya jauh lebih puas dengan naskah buku kedua, karena saya belajar banyak dari buku pertama, Anak Bukan Kertas Kosong.
Apa bedanya Anak Bukan Kertas Kosong dengan Bakat Bukan Takdir? Buku pertama, meminjam istilah dari Daus, berisi manifesto yang berisi penjelasan dengan dilengkapi bukti pengalaman dan riset. Buku kedua lebih berisi bacaan ringan, penjelasan visual terhadap konsep, survey dan latihan praktis. Baca lebih lanjut di Bakat Bukan Takdir, Karena Setiap Anak Berhak Punya Impian.
Bila butuh pemahaman konsep secara mendalam, pembaca membaca buku pertama. Bila ingin cara praktis pengembangan bakat anak, pembaca membaca buku kedua. Silahkan dapatkan di Bakat.TemanTakita.com
Meski begitu, kedua buku mempunyai kesamaan, keduanya mendobrak salah kaprah yang berkembang di masyarakat, orangtua maupun pendidik. Meski lebih praktis, saya berharap buku kedua akan memancing percakapan yang lebih luas di masyarakat. Percakapan yang mempertanyakan kembali keyakinan-keyakinan lama mengenai pendidikan anak.
Mana yang lebih anda suka, membuat karya kemudian memberi nama atau menentukan nama kemudian membuat karyanya?
Ditunggu terbitnyaaa ^_^
Siap. Kalau pengen baca dan review di blog, aku kirim bukunya
Siap menunggu terbitannya. Buku anak bukan kertas kosong sudah pernah saya ulas di blog buku. Dan semakin semangat untuk let her skill increase by her self by her method (her : my daughter) Justru jadi santai sih, saya tinggal menyesuaikan
Cant wait for your new book
Salam.
Wah sudah pakai pendidikan yang menumbuhkan……..seru!
Siap-siap kedatangan kiriman ya
Tapi masih awal maret sih
Proses menjelang lahirnya satu buku yang sungguh bernilai buat disimak. Salam kenal. Semoga sukses buat “Bakat Bukan Takdir”
Terima kasih sudah menyimak dan buat doanya…..Amin
De, kirim dong…. Sdh terbit, kan? Kalau ada, kirim, ya, de!