Bukik Bertanya : Cerita Mengalir @RudiCahyo

Rudi Cahyono yang bisa sekejab hilang & muncul ini menjalani cerita kehidupan yang mengalir sebagaimana mengalirnya cerita buat anak Indonesia. 

Aku sudah lama mengenal sosok Rudi Cahyono. Awal kenal ketika ia mendaftar sebagai peserta magang di divisi riset LP3T. Singkat saja, beberapa riset kualitatif kami tangani bersama sampai pada puncaknya ketika riset psikografi calon Walikota Surabaya bekerja sama dengan Harian Kompas Jawa Timur. Berbagai riset yang mengharuskan berlama-lama di kampus bahkan tak jarang sampai tidur di kampus.

Bersama beberapa teman yang lain, kami menggarapan sebuah program idealis bernama Imagine Indonesia. Sebuah inisiatif yang mengundang setiap orang untuk menjadi pencipta karakter bangsa, menjadi orang yang berani berimajinasi dan mewujudkannya menjadi nyata. Ada beberapa kegiatan yang kamu lakukan mulai kampanye poster keajaiban Indonesia sampai workshop pada siswa SMA.

Selain itu, kami berdua juga mengembangkan Appreciative Inquiry, pendekatan perubahan positif bagi komunitas dan organisasi. Berbagai latihan, pertanyaaan dan simulai kami ciptakan sehingga orang bisa merasakan dan menggunakan Appreciative Inquiry. Bedanya, Rudi Cahyono lebih fokus ke bidang pendidikan yang menjadi spesialisasinya.

Pada akhirnya, kami berkomitmen untuk membangun Indonesia Bercerita, sebuah organisasi yang mempunyai misi mendidik melalui cerita. Rudi Cahyono berperan sebagai juru kreatif dengan berbagai ide yang terus mengalir dari dalam dirinya.

Saat ini, Rudi Cahyono menuangkan imajinasinya cerita baik cerita anak maupun cerita umum. Dari tangannya sudah lahir beberapa buku baik bukunya sendiri maupun bersama teman-teman yang lain, yaitu 22 Hari Bercerita volume 1, 22 hari bercerita volume 2, Suara Kecil, Suara Bisu, dan Buku-e Indonesia Bercerita. Selain aktif di twitter, @RudiCahyo, ide-idenya juga bisa dinikmati di blog pribadinya yang banyak mengulas pendidikan.

Siapa dan bagaimana sosok @RudiCahyo ? Silahkan simak……

—————————————————————————————————————–

Tentang Nama dan Jati Diri

Saya terlahir dengan nama Rudi Cahyono. Rudi dengan ‘I’ loh ya, bukan ‘y’. nah, tentang ‘I’ dan ‘y’ ini, saya juga pernah merasa nggak keren dengan nama yang diakhiri huruf ‘I’. Karena itu, beberapa waktu ketika masih kecil (sekitar SD), aku lebih suka menulis Rudy (dengan ‘y’).

Ternyata ada yang tak bisa diubah, nama di ijasah tetap saja Rudi, Rudi dan terus Rudi. Tapi bukan ijasah yang akhirnya membawaku kepada keputusan untuk menuiskan “Rudi” dengan bangga, tapi menurutku itulah nama yang Indonesia.

Untuk sebutan, tidak ada sebutan khusus yang dialamatkan padaku. Pernah sih, pada waktu psycho camp tahun 2002. Ehm, psychocamp itu acara orientasi mahasiswa baru di Fakultas Psikologi Unair. Waktu itu aku jadi panitia. Anak-anak menjulukiku Sruntal-Sruntul.

Julukan unik itu diberikan karena aku sering hilang dan muncul tiba-tiba di kala caraka malam (semacam jelajah medan di malam hari). Selain itu, tubuhku memang mungil sehingga sebutan itu menurut teman-teman pas buat aku. Seiring waktu, sebutan itu menghilang.

Di dunia maya, namaku ku tulis menjadi @rudicahyo. Mau ku tulis lengkap, ternyata mengurangi jatah karakter. Lumayan lah berkurang dua huruf. Selain itu memang sudah ada yang pakai namanya sih (lancang sekali!). Jadilah nama @rudicahyo. Tapi sebagian besar tetap memanggil Rudi, nama sejati.

Aku adalah seorang chief creative officer (CCO) Indonesia Bercerita (@IDcerita). kerjaan CCO bekerja dengan kreativitas, berinovasi dengan produk. Membuat konsep workshop Mendidik Melalui Cerita adalah salah satunya. Selain membuat konsep, aku juga menjadi fasilitatornya.

Kerjaan yang lain adalah membuat cerita. Kalau yang terakhir ini sih tidak ku sebut pekerjaan. Habis hobi sih menulis cerita. Kumpulan cerita pendek pertama dibukukan dengan judul “Suara Bisu”. Berikutnya baru nimbrung dalam projek Buku “22 Hari Bercerita” yang diselenggarakan oleh Indonesia Bercerita bersamaan dengan memperingati hari ibu, 22 Desember 2010. Buku berikutnya adalah kumpulan cerita anak yang ku tulis bersama penulis Palembang dan Bandung. Judul bukunya “Suara Kecil”. Buku-buku yang lain adalah antologi “Sahabat” dan “Pelangi” yang diterbitkan melalui nulisbuku.com.

—————————————————————————————————————–

Tentang Ayah & Ibu

Kalau bersama ayah, sebenarnya waktu kecil aku bukan orang yang dekat dengan ayah. Eh, aku menyebutnya bapak. Karena bapak memang pekerja jalanan yang suka ke luar kota. Biasalah sales antar kota, antar pulau bahkan. Jadi pada waktu beliau pulang, pernah aku sama sekali tak mau didekati. Itu kata ibu sih. Kalau akunya ingat-ingat lupa.

Setelah agak besaran dikit, aku malah dekat banget sama bapak. Kalau kejadian khusus yang menggetarkan tidak ada. Hanya aku banyak belajar dari perjalanan hidupnya. Dia seorang pekerja yang ulet. Mulai dari jadi anak buah sampai jadi orang kepercayaan. Ketika sukses dalam berdagang sepatu dan pakaian, ia malah meninggalkannya. Ya itu juga atas didikan dari bosnya. Ia diminta tidak terus-terusan jadi anak buah, harus bisa berdiri di kakinya sendiri. Bos yang baik rupanya. Karena itulah ia bekerja di banyak bidang, mulai dari bertani, berdagang jamu dan obat-obatan di rumah, pernah jadi penjual bakso sampai pernah juga ikut dalam jual beli ikan di lautan.

Sekarang hidupnya sudah mulai anteng. Bapak kembali ke profesi awal, pedagang, tepatnya berdagang obat dan jamu tradisional. Dari kerja kerasnya ia punya toko di rumah, di pasar siang dan satu kios di pasar malam.

Sekarang tenaganya sudah mulai surut, akibat sakit yang sudah sejak tahun 90an sudah bercokol di tubuhnya. Bahkan penyakit fisik ini berubah jadi psikis ketika kecemasan akan kesehatan menghantui hatinya. Stress membuat perutnya juga bekerja tidak normal.

Tapi sekarang aku justru kagum sama bapak. Ia berhasil memaknai semua yang menimpa dirinya, karena ia sudah bisa menikmati, mensyukuri hidupnya. Itu kata dia sendiri loh waktu ngobrol sama aku.

Namun, ada yang lebih hebat lagi, yaitu ibuku. Ketika kesehatan bapak sudah mulai menurun, dia yang memikul pekerjaan dari bapak. Mulai dari merawat sehari-hari, berobat rutin, sampai harus bekerja menjaga toko siang dan ngopeni kios di malam hari. Rata-rata tidur ibuku hanya 2 sampai 3 jam sehari semalam.

Tiga kali seminggu ibu pergi ke kota lain yang jaraknya sekitar 90 km dari rumah. Iya, bukan berobat fisik, tapi mengujungi psikiater. Agak malu juga sih, mengingat aku sendiri juga belajar psikologi, tapi tidak bisa ngopeni sendiri. Tapi untunglah selalu ada kesempatan untuk diskusi yang efeknya bisa membesarkan hati bapak.

Setelah datang dari nganter bapak berobat, ibu harus langsung kembali ke rutinitas rumah, berjualan di pasar. Dia wanita luar biasa. Mudah-mudahan selalu ada kesempatan untuk membahagiakannya.

Wah, menulis bagian ini membuat mataku berkaca-kaca. Jadi ingin setiap saat menelpon bapak dan ibu yang berada jauh di sana, Bali.

Jadi setiap kejadian yang dialami bapak dan ibu, baik bersamaku atau tidak, aku bisa melihatnya sebagai sesuatu yang menggetarkan. Tak cukup terimakasih untuk mereka berdua, tak akan pernah cukup.

—————————————————————————————————————–

Tentang Momentum Perubahan

Sekarang aku adalah pendidik. Aku lebih suka menjadi pendidik, meskipun pekerjaan formalku adalah pengajar.  Sebenarnya tidak pernah terbayangkan sekarang aku menjadi seorang pendidik yang menggiatkan bercerita sebagai metodenya. Kalau dirunut-runut, ada masa-masa yang membuat hati tersentuh untuk menggalakkan bercerita.

Dulu, waktu aku kecil, memang tidak sering didongengin. Nenek dari bapakku adalah figur yang punya peran besar dalam hal cerita. Nenek suka cerita tentang waktu ia masih muda. Tentang kekayaan nenek buyutnya yang ditaksir seorang menir Belanda. Tentang penipuan para centeng, sehingga sawah-sawahnya banyak dihakmiliki sama mereka. Kasihan, betapa lugu mereka. Tapi ada cerita yang membanggakan, karena nenek buyut adalah seorang wanita cantik yang mirip orang Belanda. Karena itulah ia ditaksir oleh seorang menir.

Cerita-cerita nenek mengasah kepekaan, rasa empatiku. Betapa tidak, cara nenek bercerita membuat aku masuk di dalamnya, membayangkan masa itu. Dan cerita yang langsung diciduk dari pengalaman membuat perasaanku benar-benar larut. Betapa dahsyat cerita. Sampai sekarang, aku yakin, perasaan peka yang aku miliki juga disumbang oleh cerita-cerita nenek tersebut.

Kepekaan yang kumiliki ini kemudian seperti bersambut dengan jurusan kuliah yang aku ambil, psikologi. Bahkan pada saat S1, aku memilih mengambil psikologi klinis. Jadi kepekaan yang aku miliki itu lebih diterjemahkan dalam kesabaran dalam mendengar. Waktu kuliah ada kesempatan untuk menjadi menemani seorang klien untuk mendengarkan cerita-cerita mereka tentang anaknya. Dari sini aku belajar memahami kompleksitas anak. Tahu tidak,  bagaimana aku lebih mudah memahaminya? Karena cerita dapat mengurainya. Cerita-cerita mereka membuat cara berpikirku lebih terpola. Mungkin ini juga salah satu yang menyumbang bagi kesadaranku, betapa cerita itu punya kekuatan.

Melanjutkan kuliah S2 mengambil jurusan psikologi pendidikan. Inginnya mengambil klinis lagi. Tapi rasanya landasan untuk mengasah kepekaan sudah cukup untuk dikembangkan sendiri. Inginnya mempraktikkan kepekaan itu dalam dunia pendidikan. Sebenarnya dulu yang terbayang adalah ingin menjadi fasilitator. Nah, pikirku seorang fasilitator yang baik dilahirkan dari seorang pendidik yang baik pula. Jadi ku pilihlah psikologi pendidikan sebagai kelanjutan studiku.

Selepas itu, cita-citaku terkabul. Aku berkecimpung di bidang pendidian orang dewasa. Jadilah aku seorang trainer. Aku sering bekerja bareng dengan beberapa teman yang sudah lebih professional daripada aku. Salah satunya adalah mas bukik. Karena kerja bareng dengan mas bukik, maka banyak merambah dunia industri dan manajemen. Jadi trainingnya lebih banyak ke perusahaan-perusahaan.

Ada sebuah ide dari mas bukik karena istrinya merekam anaknya, Damai, yang sedang bercerita. Idenya adalah memasyarakatkan cerita sebagai metode mendidik anak. Aku juga berpikir bahwa cerita juga bagus buat masa depan anakku nantinya. Eh, waktu itu Abe belum lahir, masih di perut hehe.

Aku coba refleksikan pengalaman-pengalamanku menggunakan cerita sebagai metode mendidik anak. Teringat pengalaman waktu gempa Jogjakarta. Aku mengajak anak-anak bercerita menggunakan gambar yang dibuatnya sendiri, guna mengidentifikasi kondisi psikis mereka. Dan hasilnya luar biasa. Gambar jadi media yang bagus dan cerita mengurai emosi mereka. Juga teringat, di beberapa training aku juga menggunakan cerita untuk menemukenali kekuatan klien.

Aku menyambut ide mas bukik. Sebagai langkah awal, aku membuat free e-book Indonesia Bercerita. Tulisan ini mendapat sambutan yang bagus. Waktu itu mempopulerkannya masih lewat bukik.com. Setelah melalui beberapa kali pertemuan, terciptalah Indonesia Bercerita.

Sampai sekarang aku menjadi pendidik pencerita di Indonesia Bercerita. Ke depannya masih banyak impian yang akan aku raih bersama Indonesia Bercerita.

—————————————————————————————————————–

Tentang Peristiwa Kebetulan

Sebenarnya, sampai sekarang masih belajar untuk menyadari setiap kebetulan-kebetulan kecil yang pernah ku alami. Ngomong-ngomong kebetulan, kembali kepada 3 cita-citaku, yaitu menjadi pendidik, fasilitator dan penulis.

Buat aku Indonesia Bercerita adalah karunia. Di dalamnya aku bisa menjadi ketiganya sekaligus. Aku seorang penulis cerita anak (selain masih menulis fiksi secara umum), menjadi fasilitator untuk workshop dan pelatihan mendidik melalui cerita dan tetap mendidik dengan bercerita tentunya. Jadi secara khusus tidak ada kebetulan yang luar biasa. Hal ini karena lebih banyak ngalirnya.

—————————————————————————————————————–

Tentang yang berharga

Aku bersyukur dikarunia otak yang dibangun dari barang pecah belah hahaha. Maksudnya, aku merasa diriku ini punya cara berpikir yang beda, lepas dari pakem-pakem cara berpikir yang umum. Kata beberapa teman sih begitu. Kata mereka, cara berpikirku itu liar. Tapi memang butuh atmosfir-atmosfir yang bisa membuatku lepas dari ketakutan-ketakutan. Sepertinya butuh lebih bersahabat dengan Tuhan hehehe. Karena sebenarnya cuma dia yang layak ditakuti (sekaligus disayangi).

Keluargaku berasal dari ketidakberadaan. Ini sesuatu yang benar-benar berharga buatku. Dari mereka aku belajar tersenyum dalam kesederhanaan. Pelajaran berharga dari orang tuaku yang diciptakan melalui jalur yang membuat mereka tegar. Mereka superheroku.

Aku punya beberapa teman yang bisa membebaskanku dengan keadaan diriku yang ‘berbeda’. Apresiasi terhadap keberbedaanku membuatku leluasa untuk berkarya. Terimakasih teman-teman.

Indonesia adalah tempatku belajar dan kembali. Indonesia itu kaya akan pelajaran, kaya akan budaya. Aku tak perduli dianggap chauvinistic, tapi buat aku ini adalah cinta. Jika dalam belajar orang-orang pada ‘luar minded’, aku merasa kok masih banyak dari Indonesia yang belum kita pelajari. Satu impian yang belum teraih, aku ingin menjelajahi Indonesia.

Hidup itu unik. Pahit dan manisnya mengajariku untuk bersikap bijak. Hidup itu tempatku bertukar energi. Jadi buat aku, jika aku berarti buat kehidupan, maka energinya juga akan kembali padaku.

—————————————————————————————————————–

Tentang Simbol Diri

Buatku, aku seperti air, mengalir. Air itu tidak protes dengan wadah tempatnya mengalir. Air itu mengukir dengan lembut. Sedimen maupun kikisannya membentuk alur hidup. Air menciptakan jalannya. Jadi seperti ada dua hal sekaligus pada air berkenaan dengan jalan hidup. Ia menjalani sekaligus menciptakan jalan. Air itu mengikuti tapi tetap punya pendiriannya sendiri.

Namun air itu juga bisa menjadi dahsyat dengan caranya yang lembut. Ia bisa menghanyutkan, bisa juga bersahabat dengan badai untuk membuat terjangan dengan energinya yang besar. Karena itulah, menjadi manusia air adalah berusaha mengarahkan energi besar ini untuk kebaikan, tidak menghancurkan, meski sesekali ketika lepas kontrol juga meledak. Tapi kebutuhan akan air inilah yang harus aku penuhi. Membuat diri terus menjadi yang dibutuhkan dan berarti.

—————————————————————————————————————–

Tentang Indonesia Impian

Aku berimajinasi melihat kesejukan kehidupan kota seperti di pedesaan surga. Aku menyaksikan keramahan di setiap kota besar. Aku melihat diriku menjadi bagian dari orang-orang yang saling menyayangi. Tertawa lepas dan berbagi.

Aku menyaksikan anak-anak bahagia menentukan jalan hidupnya, merealisasikan potensinya. Aku medengarkan mereka bernyanyi dan bercerita. Tidak ku dengar keluh kesah mereka karena beban sekolah, tak ku lihat punggung mereka melengkung karena tumpukan buku yang tak bermakna buat hidup mereka. Mereka belajar apa yang membuat mereka senang sekaligus punya makna buat kehidupan mereka.

Orang-orang menjalani hidup dengan belajar dan bekerja di mana saja. Itu salah satu impianku atas Indonesia. Akses belajar bisa terbuka dimana saja. Kita bisa buka laptop dan langsung online, bisa masuk ke ruang-ruang belajar milik siapapun untuk langsung bergabung mengikuti pembelajaran. Demikian juga dengan bekerja. Kita bisa mengerjakan apapun dimanapun tanpa mengurangi produktivitas. Selain itu, hiburan juga bisa kita dapatkan di setiap sudut kota. Bahkan kita bisa turut serta menghibur siapapun yang sedang lewat.

Hal kecil berdampak besar yang ingin saya lakukan untuk mewujudkan imajinasi tentang Indonesia tersebut adalah bercerita dan menulis buku. Membuat cerita yang mengubah perilaku dan kebiasaan. Menceritakan kepada orang-orang.

—————————————————————————————————————–

Tentang Judul Otobiografi

“Rudicahyo: Kebisuan yang Mengubah Indonesia”. Cerita tentang diriku yang mulai diungkap dan disadari oleh orang Indonesia, bahwa banyak karya-karyaku yang menjadi model berbagai penemuan di bidang kemanusiaan.

—————————————————————————————————————–

Tentang Hal Konyol 

Pernah bolos sekolah dan main ke sekolah lain. Waktu itu sekolahku yang terpagi nutup pintu gerbangnya, 06.30. Karena konsekuensi keterlambatan nambah tabungan yang berakibat pada dipanggilnya orang tua ke sekolah, maka aku tidak mau merepotkan orang tua hehehe. Keterlambatan 3 kali, orang tua dipanggil. Aku bolos saja untuk mengurangi jatah keterlambatan. Mau pulang, di rumah juga tidak ada aktivitas. Jadi aku masuk ke sekolah lain yang nutup pintu gerbangnya lebih siang. Aku ikutan nimbrung ke lapangan basket dan sepak bola. Banyak yang sedang bermain-main di sana. Mereka terbuka saja dengan kehadiranku. Mungkin mereka juga bertanya-tanya, ini anak kelas mana dan mungkin saja anak baru. Sebenarnya kalau dipelototin di bet lokasi yang ada di seragamku, mereka bisa mengenali dari alam mana aku berasal. Tapi karena aku terus bergerak, tidak ada yang mengenali.

Inginnya melanjutkan petualangan sampai ikut pelajaran mereka. Tapi setelah ku pikir-pikir, di sekolah manapun pelajarannya pasti itu-itu saja, aku urungkan niat. Aku cabut dari sekolah dan kembali ke rumah. Meski ini buatku adalah bolos yang sehat, tapi jangan sekali-kali dicoba hahahahaha.

—————————————————————————————————————–

Air menjalani sekaligus menciptakan kehidupan. Itu kalimat yang paling menarik buatku dari kisah hidup Rudi Cahyono. Seolah memberi pelajaran bahwa kita patut menerima apapun pemberian hidup juga sekaligus berupaya agar hidup menjadi lebih baik. Seolah berkebalikan, tapi begitulah kehidupan. Dengan menerima, kita menjadi bersyukur yang melahirkan energi positif yang berlimpah untuk menciptakan cerita baru kehidupan.

Apa inspirasi yang kamu dapatkan dari kisah kehidupan Rudi Cahyono?

Klik untuk Langganan Bukik.com via Email

Published by

Bukik Setiawan

Blogger

12 thoughts on “Bukik Bertanya : Cerita Mengalir @RudiCahyo”

Gimana komentarmu?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: