Masyarakat bukanlah tumpukan persoalan. Masyarakat adalah jejaring potensi luar biasa selama kita menggunakan kreativitas sebagai cara pandangnya.
Refleksiku atas pengorganisasian warga yang kugeluti semenjak 1994 berujung pada kesimpulan: cara lama telah sampai pada puncak, selebihnya adalah jalan buntu.
Belakangan aku baru sadar bahwa aku menyimpan asumsi implisit atau anggapan tersembunyi yang mendasariku dalam memandang masyarakat. Aku memandang masyarakat sebagai tumpukan persoalan yang membutuhkan bantuan kami agar bisa mengatasi persoalan itu. Sebagai tumpukan persoalan, masyarakat dipandang sebagai pihak yang lemah dan dilemahkan.
Aku datang ke masyarakat bertanya apa persoalan yang mereka hadapi? Apa dan siapa penyebab persoalan itu? Apa yang bisa dilakukan sebagai solusi?
Begitu aku bertanya tentang persoalan, maka pastilah aku mendapat jawaban persoalan. Bukan satu. Setumpuk persoalan. Lalu aku mengajak diskusi untuk menemukan solusi. Tapi entah apa isi kepalaku waktu itu, solusi yang begitu saja berpijak pada persoalan tidak lebih dari sebuah ide reaksioner. Tidak pernah melahirkan ide kreatif.
Paska reformasi 1998, aku menarik diri dari gerakan pengorganisasian warga. Aku perlu memprioritaskan studiku. Tetapi pikiranku tetap tidak bisa lepas dari kegelisahan atas kenyataan buruk yang dialami oleh masyarakat kita. Aku berefleksi. Aku mencari.
Aku berjumpa dengan pendekatan Appreciative Inquiry. Aku pelajari dan putuskan menjadi bahan tesisku. Mungkin tesis pertama di Indonesia yang menggunakan pendekatan keren ini.
Lebih dari itu, aku mempromosikan Appreciative Inquiry melalui jalur online. Aku tulis posting. Aku tulis di berbagai milis. Bahkan, aku menyunting buku “The Power of Appreciative Inquiry”. Satu per satu aku berjumpa dengan orang-orang yang mempunyai kegelisahan yang sama.
Salah satu perjumpaan yang berpengaruh pada jalan hidupku adalah perjumpaan dengan Mas Dani, pendiri Inspirit, penemu Vibrant Facilitation. Berkat kegigihanku mempromosikan Appreciative Inquiry, aku mendapat kesempatan mengikuti training Vibrant Facilitation.
Aku terlibat dengan percakapan yang luar biasa dengan Mas Dani. Beliau ini merasakan kegelisahan yang sama dan berusaha menemukan pendekatan baru untuk mendorong lahirnya inovasi sosial. Aku banyak belajar dari beliau.
Ketika sebagian orang besar orang di dunia masih baru belajar tentang Appreciative Inquiry, Mas Dani justru sudah meramunya menjadi metode yang lebih segar dan bertenaga. Salah satu yang keren adalah Asset-Based Community Development, pendekatan pengembangan komunitas berbasis aset.
Dalam pendekatan ini, masyarakat bukan dianggap sebagai tumpukan persoalan. Masyarakat justru diapresiasi sebagai jejaring potensi yang luar biasa. Masyarakat telah lahir, hidup dan berkembang sehingga memiliki aset, baik aset sosial, ekonomi maupun budaya.
Oleh karena itu, langkah pertama pendekatan ini adalah Discovery, menemukan aset yang dimiliki masyarakat. Kejelasan aset ini akan membantu masyarakat untuk percaya diri dalam membayangkan masa depan ideal. Selanjutnya, tinggal mendesain dan menggunakan aset itu untuk mewujudkan idealisme tersebut.
Lebih jelas tentang Asset Based Community Development bisa menyimak video dibawah ini.
Setelah masa kesendirian, dan bahkan kesepian, akhirnya datang masa orang mulai tertarik pada Appreciative Inquiry. Akhir tahun 2011, aku mendapat beberapa kesempatan untuk mempraktekkannya baik di setting pemerintah, bisnis maupun komunitas.
Pengalaman mempraktekkan Appreciative Inquiry yang bisa dibuka untuk publik, sudah aku posting di blog ini: Cerita itu Ibarat Lem, dan Pertemuan 3.0 : Melejitkan Kreativitas Kolektif. Ada satu yang masih belum bisa kuposting, tapi semoga di 2012 sudah ada pengalaman yang kuposting.
Tahun 2012 diawali dengan sebuah kesempatan yang luar biasa, sekelompok mahasiswa S2 di Semarang nekat mengundangku meski tidak mendapat dukungan dari kampus. Untuk apa? Memintaku bercerita tentang Appreciative Inquiry. Aku salut sama mereka!
Semoga tahun depan, pendekatan inovatif mendapat tempat dan kesempatan yang lebih besar dalam berkontribusi memajukan bangsa ini. Imajinasiku berkeliaran membayangkan andai pendekatan ini digunakan oleh anggota DPD dalam memperjuangkan aspirasi warga.
Apa komentarmu tentang Asset-Based Community Development?
video ini ternyata cukup mencerahkan drpd baca buku-nya
inin buffer videonya dulu deh
Wah, menarik sekali mas bukik, terimakasih udah mau share
oh iya lupa mas, masalah ini sempat dibahas juga kalo ga salah di bukunya Jono Bacon: “The Art Of Community.” Approachnya sama, istilahnya beda kayanya mas. Bukunya (349 halaman) bisa di download gratis disini:
http://www.fikryfatullah.com/2011/07/art-of-community.html
Pendekatan pengembangan komunitas berbasis aset? Unik sekali ini
yess…kata kuncinya : ada komunitas, ada kesempatan ber’apresiasi’ oleh tiap individu, dan ada solusi sekaligus ACTION. Tapi tetap diperlukan 1 hal penting yg menjadi TITIK FOKUSnya, yaitu…LEADER( pemimpin/khalifah) yang KREATIF, TANGGUH.serta ELEGAN. why?…… kreatif namun tak kuat menentang badai (tangguh), sekaligus mampu mengakomodir ide yang ada di komunitasnya dg elegan…maka itu semua akan menjadi ke-sia2-an semata. …*nice warning*
gabung dengan komunitas,selanjutnya aktualisasikan diri di dalamnya…..
Setuju mas.. klo masyarakat dianggap sumber masalah terus ya masalah gak.akan pernah selesai toh..
Salut, kak. Komunitas itu tempat berbagi dan berkumpul, justru menjauh dari keramaian malah yang akan membuat masalah tak pernah selesai.
siip..siiip…. ayo digarap pak bukik. hehe….
ABCD denag 5 Dnya tidak jauh beda dengan apa itu intervensi pekerja sosial, tp sayang hanya dijadikan alat saja hahahhaa